Penyebab Maraknya Kasus Bunuh Diri, Merasa Diri Tidak Berarti…
Kasus bunuh diri di kalangan remaja semakin tinggi, setidaknyaitu yang terekam sang media massa.pemicunya macam-macam: dari yang tidak lulus ujian, nir sanggup membayar iuransekolah, sampai yang tampak sepele, seperti berebut mainan, seragam masihbasah, tidak dibelikan telepon seluler, atau tidak boleh naik motor. Pertandaapakah itu?
Menurut Dwidjo Saputro, dokter spesialis kesehatan jiwadari Klinik Perkembangan Anak dan Kesulitan Belajar, umumnya anak atau remajabunuh diri lantaran ada stresor psikososial. Itu bisa berupa tekanan darikeluarga, lingkungan, atau syarat sosial ekonomi yang rendah.
Remaja merupakan grup labil karena sedang dalam faseperkembangan kepribadian. Remaja berada dalam pencarian kepastian hayati,misalnya mengenai masa depan, bukti diri diri, apa yang akan dikerjakan dalamhidup. Jika pengalaman yg ada tidak sesuai menggunakan harapan, anak akan merasatidak terdapat kepastian diri, nir memiliki masa depan sebagai akibatnya remaja merasatidak berarti.
Dwidjo menambahkan, lingkungan sangat berperan. Anak yangtidak berkembang secara optimal dan kurang menerima dukungan kondusif darikeluarga dan lingkungan akan tumbuh sebagai remaja yg tidak tangguh.bentuknya, remaja bertindak nakal, atau sebaliknya berupaya bunuh diri.
Ika Widyawati, dokter spesialis kesehatan jiwa dariDepartemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesiayang juga Ketua Asosiasi Kesehatan Jiwa Batita Indonesia, menjelaskan, sebenarnyasejak bayi manusia rentan terhadap stres. Hal itu terjadi karena selama dalamkandungan bayi merasa hangat dan seluruh kebutuhan, termasuk zat gizi, terpenuhi.bayi menangis waktu dilahirkan karena mengalami trauma pertama, terpapar udaradingin.
Pola asuh
Dalam masa pertumbuhan, anak memerlukan pengasuhanorangtua. Penelantaran dalam anak sanggup mengganggu proses tumbuh kembang anak.pola asuh yang tidak baik mengakibatkan ikatan ibu-anak sebagai rusak dan anakterancam depresi.
Contoh klasik adalah anak yang hayati pada panti asuhan sejakbayi. Mereka tidak menunjukkan reaksi ketika disentuh. Hal ini merupakan tandadepresi. Gejala depresi lain merupakan bayi nir mau makan, berat badan turun,malnutrisi, rewel, dan tidur terganggu.
Jika terdeteksi pada usia kurang berdasarkan 6 bulan dan segera diterapi,bayi akan pulih. Di atas usia 6 bulan bayi depresi akan menjadi pendiam,frustrasi, serta menarik diri. “Pada masa ini gangguan sulit disembuhkan. Angkakematian mencapai 30 persen,” tutur Ika.
Penelantaran bayi umumnya terjadi pada masyarakat denganstatus sosial ekonomi rendah. Pasalnya, ibu wajib bekerja serta tidak mampumenyediakan pengasuh pengganti. Kalaupun terdapat, kualitas pengasuhan tidakmemadai. Tidak tertutup kemungkinan hal ini terjadi pada kalangan sosialekonomi tinggi. Bayi hanya diberi susu dan kebutuhan fisik, tanpa perhatian danstimulasi yang diharapkan.
Pentingnya pola asuh pula dikatakan Dashriati, dokterspesialis kesehatan jiwa menurut Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa,Departemen Kesehatan.
Menurut beliau, usia 0-6 tahun merupakan masa emasperkembangan anak. Adatiga termin. Usia 0-1,5 tahun adalah termin pembentukan agama padalingkungan. Jika hubungan orang tua-anak baik, anak akan mudah beradaptasidengan lingkungan.
Usia 1,5-3 tahun adalah tahap swatantra diri. Anak mengembangkandiri dengan mengeksplorasi lingkungan dan memilih asa. Hambatan padaproses ini, contohnya anak acapkali dihentikan, mengakibatkan anak tidak berdikari dantidak terbiasa menuntaskan perkara. Hal ini terlihat di masa remaja.
Selanjutnya, usia tiga-6 tahun adalah tahap inisiatif. Anakmencoba melakukan poly hal dan mengharapkan respons positif orangtuanya.“Orangtua perlu memfasilitasi termin-tahap perkembangan itu agar anak tumbuhmandiri, bisa menuntaskan perkara dan tidak gampang depresi,” katanya.
Ika melihat pentingnya posyandu buat memantau tumbuhkembang bayi. Apabila ada bayi yang tidak naik berat badan perlu dilihatpenyebabnya. Apakah ada gangguan fisik atau ada depresi. Apabila diketahui secaradini bisa segera diatasi.
Menurut Dashriati, Depkes sudah menyusun pelbagai bukumengenai pola asuh dan perkembangan anak buat disebarkan ke petugas kesehatan,sekolah, dan rakyat.
Selain pola asuh, lanjut Ika, faktor genetik serta gangguankesehatan jangka panjang, misalnya kanker darah, diabetes tipe 1, hemofilia, dantalasemia, pula mampu mengakibatkan depresi. Hal lain merupakan meningkatnya faktorpencetus, misalnya beban pelajaran sekolah, tekanan mental berdasarkan sekolah,orangtua, sahabat.
Anak cemas
Hal senada diungkapkan Dwidjo. Menurut beliau, waktu initerjadi peningkatan jumlah anak yang mengalami kecemasan dampak sekolah.wujudnya anak mogok sekolah, sakit perut, mual, muntah.
Menurut Dwidjo, peningkatan jumlah serta jenis fasilitassekolah nir mengklaim anak makin sehat. Adatren buat menyekolahkan anak balita. Padahal, belum tentu seluruh tenagapengajar mempunyai relatif pengetahuan tentang aspek perkembangan anak.
Akibat masuk sekolah sebelum waktunya, dunia bermain anakhilang. Anak kehilangan kesempatan menyebarkan kecerdasan emosi, spiritual,fisik, seni, serta potensi lain demi mengejar aspek kognitif.
Untuk mencegah perkara bunuh diri, perlu diberdayakan orang-orang yg punya otoritas, misalnya pengajar sekolah (Bimbingan dan Penyuluhan/BP)serta pemberian pelajaran budi pekerti.
“Bunuh diri merupakan zenit menurut frustrasi. Pelaku merasatidak terdapat solusi terhadap masalahnya, tidak ada harapan. Pencetusnya tak jarang tampak sepele. Tetapi, sebenarnya ada masalah yg terakumulasi sejaklama,” papar Ika.
Masyarakat serta guru perlu memahami gejala depresi sehinggabisa mendeteksi supaya anak segera menerima pertolongan.
Menurut situs American Psychiatric Association, gejaladepresi yg perlu diwaspadai antara lain penurunan prestasi sekolah,kehilangan minat buat beraktivitas, ledakan kemarahan, keluhan, seringmenangis, berpikir buat bunuh diri, memberitahuakn gejala khawatir berlebihanatau ketakutan, bersikap militan, sering mengeluh sakit dalam kaki, tangan atauperut tanpa karena.
Sebagaimana dicantumkan pada mukadimah Konvensi tentangHak-hak Anak, buat perkembangan kepribadian yang penuh dan harmonis, anak harustumbuh berkembang pada lingkungan keluarganya pada suasana kebahagiaan,cinta, serta pengertian. Dengan dukungan famili dan lingkungan, anak akanberkembang menjadi insan dewasa seutuhnya.
Source: Atika Walujani Moedjiono
Tentang-soal.